5 cm adalah salah satu film yang saya tunggu-tunggu sejak saya baca novelnya lebih dari 5 tahun lalu. Saat itu cuma bisa berharap bahwa novel sebagus ini ada yang mau mengangkatnya ke layar perak tanah air. Well, kita kita akan bicara banyak mengenai novelnya karena saya ingin membahas versi filmnya.
Satu kata untuk 5 cm, sempurna but not without flaws. Banyak yang mengiritik kalau film ini tidak sesuai ekspektasi dan harapan tapi untuk saya semua sudah terasa pas. 5 cm bukanlah film drama yang “berat” seperti para pemenang penghargaan akan tetapi 5 cm sangat pantas mendapatkan penghargaan.
Pertama kita bicarakan cast atau pemain, star dari 5 cm untuk saya ada di Zafran yang diperankan Herjunot Ali. Junot terlihat menyelami karakter Zafran dengan baik, kualitas aktingnya menurut saya paling bagus even dibandingkan Fedi Nuril sebagai Genta. Fedi memerankan Genta terkesan kaku dan sangat idealis jadi rasanya kurang klop. Pevita sebagai Dinda, saya melihatnya seperti Zooey Deschanel dalam 500 days of summer. She’s there just being pretty, but no offense she is pretty and really good as Dinda. Raline as Riani, saya dan teman yang nonton menganggapnya terlalu cantik untuk peran Riani tapi setelah disandingkan dengan Pevita kami mengerti. Ya, standar “cantik” di 5 cm cukup tinggi hehe. Denny Sumargo dan Igor (Arial dan Ian) the fact that they’re new in acting i stand applause. Mimik dan Gesture mereka obvious, you’ll laugh even they have no lines.
Kedua kita bicarakan soal ceritanya. Well, not much mengingat ini adaptasi novel so you all readers know the story. While the novel talks a lot about friendship and nasionalism, the movie mengemasnya dengan lebih halus dan komersil tentunya. Line dialogue Genta agaknya terlalu ‘berat’ untuk versi film yang dibuat sedikit lebih ringan dari novel, selebihnya pas. Ada Part yang membuat saya menangis lebay saat membaca, yaitu ketika mereka bertemu dengan mbok pedagang pecel di stasiun kereta saat transit, ternyata tidak diangkat. Ini yang memang agak di sayangkan, pesan moral dalam novelnya sangatlah banyak dan kurang tersampaikan dalam film.
Ketiga kita bicara soal sinematografi, ini adalah jempol sejempol-jempolnya. Ketika cerita dibuat jauh lebih ringan, penonton dimanjakan dengan shot-shot kamera yang fantastis. Stock shot semeru, ranu kumbolo, padang edelweiss sungguh sangat memanjakan mata. Membuat kita benar-benar bangga dengan alam Indonesia dan kebesaran Yang Maha Kuasa. Ini menjadi balutan manis dalam 5 cm, bukan hanya sebagai pelengkap tapi juga pengantar cerita. Emosi para karakter saat mendaki Semeru ikut dapat kita rasakan. Jujur, saat menonton yang terpikirkan oleh saya bagaimana Rizal Mantovani bisa membuat blocking kamera seindah dan sekeren itu.
Overall, dengan cast yang menenangkan hati karena mereka membawakan hampir semua karakter dengan pas, lalu dengan dialog yang sederhana tapi cerdas mengungkapkan kegundahan yang mewakili banyak kaum dewasa muda Indonesia, terakhir dengan shot dan landscape memanjakan mata dari alam Indonesia, 5 cm buat saya adalah film yang patut mendapatkan penghargaan best movie. Why? karena kru-nya adalah generasi muda asli Indonesia. All hail to Rizal Mantovani.
Source:
http://psyliterarture.wordpress.com/2012/12/16/movie-review-5cm/